Reporter: Bidara Pink | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak dunia yang sempat bertengger tinggi membuat pemerintah mengerek harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Langkah pemerintah ini dikhawatirkan makin melecut inflasi.
Belakangan, harga minyak dunia menunjukkan tren penurunan yang drastis, yaitu dari kisaran US$ 120 per barel menjadi di bawah US$ 80 per barel.
Meski ada penurunan harga minyak dunia, Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menilai, pemerintah tidak perlu menurunkan harga BBM. Menurutnya, penurunan harga BBM bukan langkah tepat, di tengah upaya pemerintah melakukan reformasi subsidi.
"Tidak perlu menurunkan harga BBM, karena skema reformasi subsidi ini sudah baik. Kalau memang harga minyak turun dan memberikan ruang bagi APBN, baiknya dana tersebut digunakan untuk pembangunan, tambahan jaring pengaman sosial, dan belanja berkualitas lain daripada dialokasikan pada subsidi," kata Riefky kepada Kontan.co.id, Rabu (28/9).
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Turun, Harga BBM Subsidi Mestinya Diturunkan
Terlebih, pemerintah juga mengaku sendiri bahwa subsidi energi yang diberikan tidak tepat sasaran dan bahkan menjadi beban APBN. Terlebih, penggunaan bahan bakar minyak juga sebenarnya tidak ramah lingkungan mengingat pemerintah tengah menggalakkan transisi ekonomi hijau.
Walaupun harga BBM tidak turun, pemerintah masih bisa melakukan langkah lainnya untuk mengendalikan inflasi yang juga dipicu oleh ketidakpastian global.
Pemerintah perlu memperhatikan risiko imported inflation, yang salah satunya disebabkan oleh pelemahan nilai tukar rupiah. Dengan demikian, rupiah perlu dijaga mengingat sebagian besar impor yang dilakukan oleh Indonesia adalah impor bahan baku dan barang modal yang merupakan kepentingan produksi.
"Menjaga nilai tukar rupiah ini merupakan instrumen yang tepat untuk menejkan laju inflasi. Karena risiko terbesar inflasi adalah imported inflation," terang Riefky.
Dari sisi permintaan, Riefky mengapresiasi langkah yang telah dilakukan Bank Indonesia (BI) untuk ahead the curve, yaitu dengan menaikkan suku bunga acuan dengan total 75 basis poin (bps) dalam dua bulan terakhir. Peningkatan suku bunga ini dianggap mampu meredam inflasi dari sisi permintaan dan bermuara pada terjaganya inflasi umum.
Riefky pun memperkirakan, inflasi pada tahun 2022 memang mungkin berada di level 6% hingga 7%, atau atas target BI yang sebesar 4%. Namun, tingkat inflasi umum akan mereda pada tahun 2023 seiring dengan berbagai jamu yang telah dilakukan pemerintah dan BI, yaitu di kisaran 4%.
Baca Juga: Harga Minyak Global Anjlok, Apakah Harga BBM Bisa Turun?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sebagai ungkapan terimakasih atas perhatian Anda, tersedia voucer gratis senilai donasi yang bisa digunakan berbelanja di KONTAN Store.
from "harga" - Google Berita https://ift.tt/XTfcIAu
via IFTTT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar