Search This Blog

Rabu, 12 April 2023

“Jalan Tobat LGBT”: Bagaimana Kanal Media Berbayar Merawat Heteronormativitas - Remotivi

Pada tanggal 27 Maret 2023, KumparanPLUS merilis liputan khusus dengan judul bombastis: Jalan Tobat LGBT (1). Liputan ini membahas sejumlah individu dari komunitas LGBT yang merasa gelisah dan memutuskan untuk “keluar dari dunia lesbian, gay, biseksual, dan transgender.” Artikel ini merupakan bagian pertama dari serangkaian liputan dengan tajuk serupa—artikel kedua berjudul Waswas LGBT Meluas (2).  

Sebelum masuk ke dalam pembahasan utama, saya ingin memberikan catatan terlebih dahulu: secara empiris, praktik berhijrah meninggalkan “dunia LGBT” memang merupakan praktik yang benar-benar terjadi. Berdasarkan penelitian yang saya lakukan sejak 2019, alasan berhijrah ini bisa beragam, mulai dari motivasi personal, keinginan untuk menikah secara heteroseksual, tekanan bertubi-tubi dari keluarga, hingga dorongan-dorongan yang disebabkan oleh keyakinan beragama. Penelitian Tom Boellstorff beberapa dekade silam di Indonesia juga menunjukkan narasi serupa: Terdapat sejumlah individu gay di Indonesia yang memilih untuk menikah secara heteroseksual karena meyakini agama mereka melarang homoseksualitas. 

Dengan demikian, kritik saya terhadap liputan KumparanPLUS tidak dimaksudkan untuk menampik kenyataan praktik berhijrah. Apa yang akan saya elaborasi adalah tiga kegagalan KumparanPLUS: (1) Kegagalan KumparanPLUS menyediakan konteks praktik hijrah individu dengan keragaman gender dan seksualitas; (2) Pemahaman sumir dan penjelasan tidak utuh mengenai narasi ilmu pengetahuan mengenai ragam gender dan seksualitas; dan (3) Posisi KumparanPLUS sebagai kanal media yang diwarnai gamblang oleh kerangka moral heteronormatif.

Konteks, Konteks, dan Konteks: Dari mana Asalnya Rasa Gelisah?

Artikel “Jalan Tobat LGBT (1)” dibuka dengan narasi afektif yang dapat memikat pembaca sejak awal: Robi, seorang laki-laki berusia 35 tahun, memutuskan untuk berhijrah dari dunia LGBT pada 2014 karena “tidak merasakan kenyamanan” dan merasa “tidak punya tujuan.” Penulis artikel ini—yang sayangnya anonim entah karena alasan apa—kemudian mengupas kehidupan Robi sejak di bangku SMA hingga lulus kuliah dan merantau ke Bogor, dan bagaimana ia hidup dengan seksualitasnya. Selain pengalaman Robi, terdapat dua narasi lain dari Renaldi, seorang “eks gay di Jakarta,” dan Siska, seorang perempuan yang kerap gelisah karena ketertarikannya pada sesama perempuan. 

Ada satu pertanyaan yang tidak bisa saya tampik ketika membaca pengalaman Robi, Renaldi, dan Siska: Ketika mereka berjibaku dengan perasaan gelisah, dari mana asalnya rasa gelisah mereka? Dalam the Cultural Politics of Emotions, Sara Ahmed (2014) menyatakan bahwa emosi tidak dapat seutuhnya dipahami sebagai kondisi psikologis, melainkan harus dipahami sebagai praktik sosial dan kultural. Rasa takut orang-orang kulit putih ketika mereka bertemu dengan Frantz Fanon yang berkulit hitam hingga bagaimana kecintaan terhadap bangsa menghasilkan rasa jijik dan kebencian pada komunitas imigran Muslim, khususnya perempuan Muslim yang menggunakan hijab menjadi contoh Ahmed emosi-emosi negatif memiliki konteks sosial.

Dari penelitian saya, kegelisahan dan ketidaknyamanan di antara individu dengan ragam gender dan seksualitas dilatarbelakangi struktur dan relasi heteronormatif yang senantiasa hadir dalam kehidupan kita sehari-hari. Heteronormativitas merujuk pada sistem norma yang mendudukkan heteroseksualitas—baik di tataran orientasi seksual maupun perilaku seksual—sebagai satu-satunya orientasi dan perilaku seksual yang normal (lihat Marchia dan Sommer, 2019; Green, 2013; Berlant dan Warner, 1998). 

Pada artikel yang ditulis oleh tim KumparanPLUS, alih-alih menelusuri sebab-musabab individu dengan ragam gender dan seksualitas seperti Robi, Renaldi, dan Siska dapat hidup dengan rasa gelisah karena identitas seksualitas mereka, artikel ini cenderung melakukan esensialisasi pada kegelisahan yang mereka alami dan, dengan demikian, gagal memahami keberadaan konteks heteronormativitas yang menghasilkan rasa gelisah yang mereka alami.

Pemahaman Keilmuan yang Tak Menyeluruh

Aspek lain yang terabaikan dalam liputan KumparanPLUS ialah konteks perkembangan ilmu pengetahuan yang membahas ragam gender dan seksualitas, khususnya terkait praktik konversi dan rehabilitasi. Pada artikel “Jalan Tobat LGBT (1)”, tim penulis memang sedikit membahas pernyataan PDSKJI dan tanggapan APA sebagai berikut:

“Pada 2016, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menyatakan bahwa orang dengan orientasi homoseksual dan biseksual dapat dikategorikan sebagai orang dengan masalah kejiwaan (ODMK), sedangkan transgender dikelompokkan sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Namun sikap PDSKJI tersebut ditentang American Psychological Association (APA). APA menilai orientasi seksual—yang merupakan komponen biologis—dapat dipengaruhi interaksi genetik, hormon, dan faktor-faktor lingkungan. Mereka juga menyebut tak ada hubungan antara orientasi dan identitas seksual dengan kondisi mental seseorang.”

Akan tetapi, sepanjang artikel “Jalan Tobat LGBT (1)”, tim penulis tidak menjelaskan bahwa meski Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III) memiliki pembahasan mengenai “Gangguan Psikologis dan Perilaku yang Berhubungan dengan Perkembangan dan Orientasi Seksual”, PPDGJ III sendiri menjelaskan secara gamblang bahwa “orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai suatu gangguan.” Absennya penjelasan ini dalam artikel KumparanPLUS dapat berbahaya, khususnya karena adanya sejumlah upaya yang dilakukan oleh sebagian akademisi, psikolog, dan psikiater di Indonesia untuk melakukan remedikalisasi dan repatologisasi homoseksualitas. 

Alih-alih penjelasan komprehensif mengenai pendekatan psikologi dan psikiatri pada ragam gender dan seksualitas, artikel KumparanPLUS justru terjebak pada pembahasan mengenai penyebab LGBT. Artikel ini, misalnya, menyertakan pendapat seorang psikolog bahwa “LGBT merupakan penyimpangan yang disebabkan dua faktor: fisiologi dan psikososial” dan “LGBT yang terpicu faktor psikososial masih bisa berubah, namun perlu dengan dukungan keluarga.”

Pembahasan penting lain yang absen dari artikel KumparanPLUS ialah sejarah gerakan eks-gay yang melatarbelakangi praktik berhijrah di Indonesia. Harus dipahami bahwa gerakan eks-gay tidak sepenuhnya baru dan hanya berada di Indonesia. Setidaknya, sejak tahun 1970-an, terdapat sejumlah gerakan eks-gay yang menjamur di Amerika Serikat seperti Exodus International, Love in Action, Homosexuals Anonymous. Ada juga organisasi yang mengampanyekan terapi konversi pada individu dengan ragam gender dan seksualitas, National Association for Research and Therapy of Homosexuality

Secara umum, individu-individu yang terlibat dalam gerakan eks-gay di Amerika sejak tahun 1970-an ini memiliki motivasi serupa dengan narasumber artikel KumparanPLUS: kegelisahan, kesendirian, isolasi, stres, dan marjinalisasi. Persoalannya, ada sejumlah pengakuan dari individu-individu yang dulunya terlibat di gerakan eks-gay (dan juga riset-riset longitudinal mengenai gerakan eks-gay) yang menunjukkan bahwa upaya konversi pada akhirnya tidak membuahkan hasil yang awalnya mereka inginkan. Alih-alih berhasil “kembali” menjadi heteroseksual, sejumlah individu yang sempat terlibat dalam gerakan eks-gay menuturkan mereka justru hidup dalam kungkungan nilai-nilai heteronormatif. Bertahun-tahun kemudian, seksualitas mereka tidak dapat diubah menjadi heteroseksual.

“Jalan yang Benar” dan Hidup yang Dipertaruhkan

Persoalan selanjutnya dari artikel KumparanPLUS tidak terdapat pada artikel ini sendiri, namun pada unggahan KumparanPLUS di kanal Instagram mereka. Pada dua unggahan untuk mempromosikan artikel KumparanPLUS, akun KumparanPLUS menyertakan caption berikut:

“Tak sedikit LGBT yang dihantui rasa gelisah siang dan malam. Sebagian dari mereka lantas meniti jalan berliku untuk kembali, menjadi menjadi [sic!] seutuhnya perempuan atau laki-laki. Tentu bukan upaya yang mudah. Seperti apa lika-liku prosesnya? Siapa membantu mereka? Dan bagaimana peluang mereka berhasil? Selengkapnya dalam Liputan Khusus “Jalan Tobat LGBT” hanya di Kumparan.”

“Tak sedikit LGBT yang ingin kembali ke jalan yang benar, yakni menjadi seutuhnya perempuan atau laki-laki. Namun, apa yang mempersulit langkah mereka? Selengkapnya dalam Liputan Khusus “Jalan Tobat LGBT” hanya di Kumparan.”

Dua unggahan ini bermasalah, khususnya karena kedua unggahan ini menggunakan frase “kembali ke jalan yang benar” yang secara gamblang dijelaskan sebagai “menjadi seutuhnya perempuan atau laki-laki.” Persoalannya, apakah kanal media seperti KumparanPLUS memiliki kapasitas dan otoritas untuk menentukan jalan yang benar dan yang salah bagi individu dengan ragam gender dan seksualitas? Jika merujuk pada pengalaman keseharian individu dan komunitas LGBTQ+, pemahaman mengenai “jalan yang benar” bisa sangat beragam. 

Bagi sejumlah individu yang memutuskan untuk berhijrah seperti narasumber artikel KumparanPLUS, hidup sebagai heteroseksual dapat dipahami sebagai jalan yang benar. Akan tetapi, tidak sedikit individu dengan ragam gender dan seksualitas yang memandang identitas gender dan seksualitas mereka berada dalam koridor kebenaran. Sejumlah gay di Indonesia dalam penelitian Tom Boellstorff (2005), misalnya, tidak memahami seksualitas mereka sebagai dosa. Narasi serupa dapat ditemukan pada komunitas-komunitas dengan ragam gender dan seksualitas lainnya, seperti yang dengan apik telah diulas oleh akademisi seperti Omar Minwalla, dkk. (2005), Gert Heckma (2002), dan Mark McCormack (2012). 

Lebih lanjut, artikel KumparanPLUS gagal memahami bahwa interpretasi “jalan yang benar”, khususnya dalam konteks tradisi epistemik keagamaan, senantiasa terkait dengan politik otoritas keagamaan. Ketika kita berbicara mengenai “jalan yang benar” bagi individu LGBTQ+ dari sudut pandang agama, kontestasi wacana dan interpretasi senantiasa akan kita temukan, misal pada penjelasan Scott Siraj Al-Haqq Kugle (2010) dan Amar Alfikar (2023). Dengan mempertimbangkan ragam pengalaman dan interpretasi mengenai “jalan yang benar”, saya pikir, pernyataan KumparanPLUS mengenai “jalan yang benar” sebagai “menjadi seutuhnya perempuan atau laki-laki” justru dapat merawat gagasan heteronormatif terkait identitas gender dan seksualitas individu.

Pada akhirnya, terdapat satu pertanyaan yang perlu kita pikirkan bersama: Apa yang terjadi ketika media massa—dan, dalam kasus ini, kanal media berbayar—gagal membaca dan menceritakan konteks dengan komprehensif dan elaboratif ketika mewartakan pengalaman individu dan komunitas dengan ragam gender dan seksualitas? Pemberitaan KumparanPLUS ini bisa membentuk gagasan bahwa pertobatan, konversi, dan rehabilitasi individu LGBTQ+ dapat benar-benar dilakukan, efektif, dan berhasil. 

Sebagai seorang (calon) antropolog, saya telah dibiasakan untuk menghormati dan menghargai praktik-praktik kultural yang sering kali tidak dapat saya pahami. Gagasan ini berakar khususnya dari argumen Saba Mahmood (2011) bahwa feminisme (dan feminis!) harus dapat memahami pilihan perempuan Muslim yang hidup secara religius dan mengejawantahkan agensi mereka dengan tidak melawan struktur patriarkal yang dinilai opresif oleh tradisi feminis. Dalam semangat yang sama, bagi saya pribadi, pilihan individu seperti Robi, Renaldi, dan Siska harus dihargai dan dihormati—setidaknya oleh etnografer dan orang-orang yang terbiasa dengan gagasan mengenai pembebasan queer.

Akan tetapi, permasalahan utama dari artikel KumparanPLUS ini terletak bukan pada pengalaman dan pilihan personal individu yang memutuskan berhijrah, melainkan pada cara pemberitaan KumparanPLUS yang mendudukkan “jalan yang benar” versinya sebagai kebenaran tunggal dan absolut. Sejak 2022, saya mewawancara sejumlah individu dengan ragam gender dan seksualitas yang mengalami berbagai upaya konversi dan rehabilitasi yang tidak mereka kehendaki, dari ruqyah, sakramen pengurapan, konseling pastoral, psikoterapi, perkawinan paksa, hingga perkosaan “korektif”. Ada satu narasi yang selalu muncul pada puluhan partisipan riset saya: Upaya konversi dan rehabilitasi yang mereka alami berakar dari tekanan keluarga dan masyarakat sekitar yang meyakini bahwa seksualitas dapat diubah. 

Ada anggapan bahwa ketertarikan seksual pada orang lain dapat diubah sehingga “kembali sesuai kondisi fitrah”. Dengan demikian, individu gay, lesbian, biseksual, dan aseksual dapat “disembuhkan” menjadi heteroseksual, dan individu transgender dan nonbiner dapat “dikembalikan” menjadi cisgender. Gagasan ini tentu bukan gagasan baru di kehidupan sehari-hari kita, dan artikel KumparanPLUS dapat merawat—dan bahkan menjadi kayu bakar—bagi gagasan mengenai praktik konversi dan rehabilitasi yang heteronormatif. 

Pada akhirnya, saya ingin menegaskan bahwa  KumparanPLUS, dan juga institusi media dan jurnalistik lainnya, harus dapat memahami bahwa ada kehidupan individu LGBTQ+ yang senantiasa dipertaruhkan setiap kali pemberitaan mengenai keragaman gender dan seksualitas ditulis dan dipublikasikan. Kita tidak dapat menafikan bahwa kehidupan individu dengan ragam gender dan seksualitas di Indonesia senantiasa diwarnai luka dan derita. Pemberitaan sumir dan tidak kritis layaknya yang dilakukan oleh KumparanPLUS dapat merawat gagasan, struktur, dan relasi heteronormatif yang terus menorehkan luka dan derita itu.
 

Ahmed, Sara. Cultural Politics of Emotion. Edinburgh: Edinburgh University Press, 2014.

Alfikar, Amar. Queer Menafsir: Teologi Islam untuk Ragam Ketubuhan. Yogyakarta: Gading, 2023.

Berlant, Lauren dan Michael Warner. "Sex in Public." Critical inquiry Vol. 24, no. 2 (1998): 547-566.

Boellstorff, Tom. "Between religion and desire: Being Muslim and gay in Indonesia." American Anthropologist Vol. 107, no. 4 (2005): 575-585.

Green, Adam Isaiah. "Gay but not queer: Toward a post-queer study of sexuality." Theory and society Vol. 31, no. 4 (2002): 521-545.

Hekma, Gert. "Imams and homosexuality: A post-gay debate in the Netherlands." Sexualities 5, no. 2 (2002): 237-248.

Kugle, Scott Siraj al-Haqq. Homosexuality in Islam: Critical reflection on gay, lesbian, and transgender Muslims. Simon and Schuster, 2010.

McCormack, Mark. "The positive experiences of openly gay, lesbian, bisexual and transgendered students in a Christian sixth form college." Sociological research online Vol. 17, no. 3 (2012): 229-238.

Mahmood, Saba. Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject. Princeton, NJ: Princeton University Press, 2011

Marchia, Joseph dan Jamie M. Sommer. "(Re)defining heteronormativity." Sexualities Vol. 22, no. 3 (2019): 267-295.

Minwalla, Omar, BR Simon Rosser, Jamie Feldman, dan Christine Varga. "Identity experience among progressive gay Muslims in North America: A qualitative study within Al‐Fatiha." Culture, Health & Sexuality Vol. 7, no. 2 (2005): 113-128.

Adblock test (Why?)



from "bagaimana" - Google Berita https://ift.tt/mbkRZyf
via IFTTT

from Cara Muncara https://ift.tt/ybKuMJX
via IFTTT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KALLATTIIN Nagaa eegdonni UN 'atattamaan' Kibba Libaanos keessaa akka bahan Netaaniyaahuun dhaaman - BBC.com

[unable to retrieve full-text content] KALLATTIIN Nagaa eegdonni UN 'atattamaan' Kibba Libaanos keessaa akka bahan Netaaniyaahuun dh...