JAKARTA, KOMPAS.com - Kuasa hukum Hakim Agung nonaktif Mahkamah Agung (MA) Gazalba Saleh, Firman Wijaya menilai, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan pelanggaran prosedur dengan menetapkan kliennya sebagai tersangka tanpa adanya surat penetapan yang disertakan dengan alat bukti.
Hal itu disampaikan Firman merespons jawaban Tim Biro Hukum KPK yang menyatakan penanganan perkara terhadap Gazalba Saleh dilakukan dengan Undang-Undang KPK yang bersifat khusus atau lex specialis.
Baca juga: Hari Ini, KPK Jawab Gugatan Praperadilan Hakim Agung Gazalba Saleh
“Prinsipnya kita menghormati proses hukum KPK tapi ya kami meminta KPK bisa menghormati praperadilan yang dilakukan. Asas keseimbangan itu penting,” ujar Firman usai persidangan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (3/1/2023).
“Tidak kemudian atas dasar alasan lex specialis, kekhususan, kemudian boleh saja melakukan langkah-langkah yang keluar dari prosedur, artinya tindakan lebih dulu prosedur kemudian, kira-kira seperti itu,” kata Firman.
Firman lantas mempertanyakan langkah KPK yang menetapkan Gazalba Saleh sebagai tersangka hasil operasi tangkap tangan (OTT) terhadap aparatur sipil negara (ASN) di MA terkait penanganan perkara.
Adpaun Gazalba Saleh ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara pidana Koperasi Simpan Pinjam Intidana yang bergulir di MA.
“Dalam kasus GS (Gazalba Saleh) mestinya kalau pengujian formal terhadap status penetapan status tersangka itu tidak bisa dihindari juga pasti menyangkut alat bukti dan perolehan alat bukti. Kalau tuduhannya terhadap seorang Hakim Agung dia menerima suap dan apa rangkaian itu disebut sebagai rangkaian OTT?” papar Firman.
Baca juga: KPK Periksa Hakim Agung Gazalba Saleh, Dalami Pengurusan Perkara di MA
“Saya rasa seharusnya jelas ya, persoalan yang namanya OTT itu ya adalah satu peristiwa di mana secara situasional ya orang, seseorang, itu di dalam hal ini Hakim agung, faktanya memang menerima janji dan pada saat itu juga ya ditemukan alat bukti apa yang dituduhkan?” ujar dia.
Firman berpandangan, kliennya tidak bisa ditetapkan sebagai tersangka terkait perkembangan penanganan perkara terkait OTT terhadap sejumlah ASN di MA. Pasalnya, alat bukti yang dimiliki oleh KPK merupakan bukti yang didapatkan dari para tersangka yang terjerat kegiatan tangkap tangan tersebut.
“Tapi kalau alat buktinya ada di tempat lain, ada di orang lain, dia (Gazalba Saleh) tentu ini tidak bisa dikatakan sebagai OTT,” tegas Firman.
Tak hanya itu, Firman juga menyoroti penetapan tersangka terhadap Hakim Agung yang tidak melalui izin Presiden RI dan Jaksa Agung. Padahal, ketentuan itu merupakan prosedur yang diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang tentang Mahkamah Agung (MA).
“Saya rasa ketentuan yang terkait dengan izin presiden tetap berlaku ya sebagai penyelenggara negara, tentu harus melalui prosedur karena belum ada satu pasal pun dalam UU KPK termasuk dalam UU Tipikor yang mengecualikan itu,” papar Firman.
Baca juga: KPK Buka Peluang Usut Sunat Hukuman Edhy Prabowo yang Diputus Gazalba Saleh
“Ada Pasal yang mengatakan ketentuan yang menyangkut izin presiden ini tidak berlaku? itu harus ada! kalau tidak ada, kita tidak bisa mengada-ada, ini yang harus saya katakan, prosedur pengajuan praperadilan penetapan status tersangka Hakim Agung GS menjadi penting karena jangan sampai memunculkan semacam preseden negatif, preseden ya tangkap dulu prosedur kemudian,” ujarnya.
Dalam gugatannya, Kubu Gazalba Saleh mempermasalahkan alat bukti yang dimiliki KPK sehingga bisa menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (Sprindik) KPK Nomor: B/714/DIK.00/23/11/2022 tanggal 01 November 2022.
Menurut kubu Gazalba Saleh, penetapan tersangka yang dilakukan komisi antirasuah itu tidak didasari oleh adanya surat penetapan tersangka sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), melainkan hanya melalui Spindik.
Adapun penahanan terhadap Hakim Agung nonaktif itu dilakukan tepat 10 hari setelah KPK mengumumkan Gazalba sebagai tersangka pada 28 November 2022.
Dalam kasus ini, Gazalba Saleh dan bawahannya dijanjikan uang Rp 2,2 miliar. Suap itu diberikan melalui PNS Kepaniteraan MA bernama Desi Yustria.
Suap diberikan agar MA memenangkan gugatan kasasi yang diajukan Debitur Intidana, Heryanto Tanaka. Ia didampingi dua pengacaranya, yaitu Yosep Parera dan Eko Suparno.
Gazalba diduga menerima suap uang 202.000 dollar Singapura terkait pengurusan perkara pidana Koperasi Simpan Pinjam Intidana di MA.
Baca juga: KPK Buka Peluang Usut Sunat Hukuman Edhy Prabowo yang Diputus Gazalba Saleh
Selain Gazalba, KPK juga telah menetapkan Prasetio Nugroho, Redhy Novarisza, serta Nurmanto Akmal dan Desy Yustria yang merupakan PNS di MA, sebagai tersangka penerima suap dalam perkara ini.
Mereka disangka melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau b Jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara itu, Heryanto Tanaka, Yosep Parera, dan Eko Suparno ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.
Mereka dijerat melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 atau Pasal 6 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adapun perkara ini merupakan pengembangan dari kasus suap Hakim Agung Sudrajad Dimyati. Ia diketahui menangani perkara perdata gugatan kasasi Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Sementara itu, Gazalba menangani perkara gugatan kasasi pada perkara pidana Intidana.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.from "alat" - Google Berita https://ift.tt/1Axcl8f
via IFTTT
from Cara Muncara https://ift.tt/G2u9NMD
via IFTTT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar