Search This Blog

Kamis, 26 Oktober 2023

Pengelolaan Sukun Sebagai Bahan Pangan Pokok Alternatif dan ... - BRIN

Cibinong - Humas BRIN. ”Persoalan kesejahteraan tidak bisa terlepas dari ketersediaan dan kecukupan pangan. Permintaan beras yang terus meningkat seiring dengan kenaikan jumlah penduduk seringkali tidak bisa diimbangi atau tidak bisa dibarengi dengan kesiapan kecukupan stok beras nasional dan ini mendorong pentingnya dilakukannya program diversifikasi pangan,” kata Dwinita Wikan Utami, Kepala Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan ORPP BRIN saat memberikan sambutan pada webinar HortiES Talk #15 dengan tema “Pengelolaan Sukun sebagai Bahan Pangan Pokok Alternatif dan Substitusi Impor”, Rabu (25/10) secara daring.

Menurut Dwinita, Indonesia memiliki keanekaragaman sumber karbohidrat yang melimpah dan salah satunya adalah sukun. Sukun tumbuh hampir di semua pulau di Indonesia baik di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku.

“Beberapa publikasi menyebutkan bahwa sukun memiliki variasi keragaman nutrisi sehingga sangat berpotensi sebagai pangan alternatif untuk membantu kecukupan pemenuhan nutrisi pangan masyarakat. Konservasi keanekaragaman sukun penting dilakukan, demi mempertahankan variasi pertama khusus varietas sangat berpotensi untuk pangan alternatif,” pungkas Dwinita mengakhiri.

Narasumber Marietje Pesireron, Peneliti Ahli Madya, Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan, ORPP BRIN dengan materi “Eksplorasi dan Karakterisasi Morfologi SDG Tanaman Sukun Maluku”, memaparkan, “Sukun merupakan salah satu tanaman buah potensial di Indonesia yang tinggi karbohidrat dan dapat digunakan sebagai alternatif pengganti beras. Selain itu kandungan nutrisi seperti vitamin, mineral, serat, abu dll sangat baik untuk kesehatan. Sukun memiliki keragaman morfologi dan genetik yang luas dan belum tergali  dengan baik.”

“Indonesia merupakan pusat keragaman sukun (breadfruit) di dunia, dimana kepulauan Pasifik merupakan pusat asal tanaman ini. Kelompok spesiesnya diperkirakan tumbuh secara alami di Maluku, Papua Nugini dan Filipina. Sukun yang masuk ke pulau Jawa asalnya dari Maluku sekitar tahun 1820 dan telah menyebar tumbuh dengan baik di hampir seluruh daerah tropis di seluruh dunia,” jelas Marietje. “Jumlah Varietas sukun yang baru dilepas di Indonesia yaitu varietas Sukun Manis dari Cilacap, Sukun Bangsyamlan dari NTB, Sukun Duri dari Pulau Seribu, Sukun Padaidi, Toddopuli dari Bone Sulawesi Selatan, Sukun Iriana dari Papua dan Sukun Tengah-Tengah dari Maluku,” ucapnya. “Buah sukun dikenal potensinya untuk mengurangi kelaparan. Selain itu ditemukan dalam kulit batang, cabang, daun dan buah positif mengandung senyawa saponin. Saponin adalah senyawa bioaktif yang mempunyai peranan sebagai antimikroba, antijamur, sitotoksik, antikanker, ajuvan, vaksin, antiinflamasi, imunostimulan, hipokolesterolemik, antioksidan dan memiliki aktivitas hepatoprotektif,” ungkap Marietje. Menurut Marietje untuk melestarikan plasma nutfah sumber daya genetik dan spesies sukun dengan mengidentifikasi jarak genetik, keragaman intraspesifik dan pengembangan secara insitu maupun eksitu. Di mana erosi genetik dari tanaman yang diperbanyak secara klonal termasuk sukun merupakan masalah serius di Kepulauan Pasifik. Meskipun merupakan tanaman pokok yang penting, budidaya dan penggunaan sukun terus menurun.  Ada banyak variasi varietas lokal atau ras sukun meliputi warna daging, nilai gizi dan sifat agronomis yang mungkin mengandung alel penting yang mengontrol toleransi terhadap cekaman abiotik tertentu seperti kekeringan. Selain itu keuntungan pengembangan varietas lokal adalah mudah diadopsi oleh petani dan disukai oleh masyarakat setempat, petani dan konsumen.  Konservasi keanekaragaman sukun menjadi sangat penting karena secara langsung dimanfaatkan masyarakat untuk pangan, papan, lingkungan dan ekonomi. Febby Polnaya, Dosen Universitas Pattimura Ambon, Maluku, dengan materi “Teknologi Pengolahan Hasil Sukun” menuturkan, “Proses tanaman sukun terdiri dari dua metode yaitu metode tradisional dan modern.  Secara tradisional kita lebih banyak mengenal pengeringan menggunakan sinar matahari untuk mendapatkan sukun yang kering juga pengolahan dalam bentuk goreng, rebus atau dengan menghancurkan menjadi tepung. Fermentasi umum dilakukan untuk mendapatkan sukun yang lebih baik.” Menurut Febby, perkembangan sekarang menggunakan metode yang lebih modern yaitu menggunakan microwave, waktu yang dibutuhkan relatif singkat 40 detik tetapi energi radiasi yang digunakan lumayan tinggi 2450 Hz. Dalam pengolahan dengan metode tradisional ternyata dapat meningkatkan sifat-sifat sensori daging buah sukun dan menurunkan senyawa anti nutrisi buah sukun. Febby mengatakan, biasanya sukun sebelum dikeringkan dengan pengeringan matahari dipotong dalam bentuk dadu sehingga pengeringan dapat berlangsung dengan baik atau direbus dulu. Pengeringan matahari bertujuan menghentikan fermentasi dan pertumbuhan bakteri dan jamur. Proses pengeringan dapat meningkatkan umur simpan selama tiga tahun. Produk sukun dalam bentuk tepung adalah produk pangan setengah jadi, lebih tahan disimpan, mudah dicampur ketika diolah, ketika dalam bentuk tepung dapat diperkaya dengan zat-zat gizi tambahan, lebih mudah dibentuk dan dicampur dengan bahan pangan lainnya.  Pengeringan matahari berkembang menjadi pengeringan oven, didapatkan tepung sukun dengan sifat kimia, nutrisi dan fungsional yang lebih baik dibandingkan dengan pengeringan matahari. Waktu yang dibutuhkan lebih cepat hanya beberapa jam dengan suhu yang lebih terkontrol 40˚- 60˚C. “Sukun dapat dikeringkan dengan pengering tingkat lanjut seperti pengeringan beku, pengeringan vakum, pengeringan semprot, pengeringan drum, dan microwave. Tetapi teknologi-teknologi ini relatif lebih mahal jika dibandingkan menggunakan cabinet dryer,” sebut Febby. Kegiatan ini dipandu oleh moderator Atman, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan, ORPP BRIN (ew)

Adblock test (Why?)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Frances Bahan Obituary and Online Memorial (2011) - Legacy.com

[unable to retrieve full-text content] Frances Bahan Obituary and Online Memorial (2011)    Legacy.com